Nama lengkap Ibnu Arabi adalah Muhammad bin Ali bin Muhammad bin
Ahmad bin Abdullah al-Hatimi. Ia keturunan dari Abdulah bin Hatim saudara Adiy
bin Hatim dari kabilah Thai. Kuniahnya adalah Abu Bakar dan laqab (julukannya)
adalah Muhyiddin. Ia juga populer dengan sebutan Al-Hatimi dan dengan sebutan
Ibnu Arabi (tanpa “al”) untuk membedakannya dengan Qadhi Abu Bakar ibn
al-Arabi. Ibnu Arabi lahir pada hari Senin tanggal 17 Ramadhan 560 H bertepatan
dengan 28 Juli 1165 M di Murcia, Andalusia. Ayahnya -Ali bin Muhammad- termasuk
salah seorang ahli fiqh dan hadits, juga seorang sufi yang zuhud dan bertaqwa.
Ayahnya adalah orang shalih yang senantiasa tekun membaca Al-Qur’an dan
memiliki beberapa karamah, di antara karamahnya adalah bahwa ia tahu hari
meninggalnya sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Arabi dalam kitabnya Al-Futuhat Al-Makiyah.
Pada umur delapan tahun, Ibn Arabi meninggalkan kota
kelahirannya dan berangkat ke Lisbon, untuk menerima pendidikan agama Islam
pertamanya, yaitu membaca al-Qur’an dan mempelajari hukum-hukum Islam dari
Syekh Abu Bakar bin Khalaf, kemudian ia pindah ke Seville yang saat itu
merupakan pusat sufi Spanyol dan menetap di sana selama tiga puluh tahun untuk
mempelajari hukum, hadits, teologi Islam, serta banyak belajar dari ulama-ulama
dalam mempelajari tasawuf. Ia belajar tasawuf kepada sejumlah sufi terkenal
seperti Abu Madyan al-Gauts at-Talimsari, dan melanglang buana ke berbagai
negeri seperti Yaman, Syiria, Irak, Mesir, dan akhirnya pada tahun 620 H, ia
menetap di Hijaz hingga akhir hayatnya.
KONSEP WIHDATUL WUJUD IBNU ARABI
Ajaran sentral Ibn Arabi adalah tentang wihdatul wujud (kesatuan wujud).
Meskipun demikian, istilah wihdatul
wujud yang dipakai untuk menyebut ajaran sentralnya itu tidaklah
berasal darinya, tetapi berasal dari Ibnu Taimiyah, tokoh yang paling keras
mengecam dan mengkritik ajaran sentralnya tersebut, atau setidak-tidaknya tokoh
itulah yang berjasa dalam mempopulerkan ke tengah masyarakat Islam, meskipun
tujuannya negatif.
Menurut faham ini bahwa setiap sesuatu yang ada memiliki dua
aspek, yaitu aspek luar dan aspek dalam. Aspek luar disebut makhluk (al-khalq) dan aspek dalam disebut
Tuhan (al-Haqq). Menurut faham
ini aspek yang sebenarnya ada hanyalah aspek dalam (Tuhan) sedangkan aspek luar
hanyalah bayangan dari aspek dalam tersebut.
Menurut Ibnu Arabi, wujud semua yang ada ini hanya satu dan
wujud makhluq pada hakikatnya wujud khaliq pula. Tidak ada perbedaan di antara
keduanya (khaliq dan makhluq) dari segi hakikat. Adapun kalau ada yang mengira
bahwa antara wujud khaliq dan makhluq ada perbedaan, hal itu dilihat dari sudut
pandang pancaindra lahir dan akal yang terbatas kemampuannya dalam menangkap
hakikat yang ada pada dzat-Nya dari kesatuan dzatiyah yang segala sesuatu berhimpun padanya. Hal
ini tersimpul dalam ucapan Ibn Arabi,
سُبْحَانَ
مَنْ أَظْهَرَ الْأَشْيَاءَ وَهُوَ عَيْنُنَا
“Mahasuci
Tuhan yang telah menjadikan segala sesuatu dan Dia sendiri adalah hakikat
segala sesuatu.
Wujud alam, menurut Ibn Arabi, pada hakikatnya adalah wujud
Allah juga. Allah adalah hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang
qadim, yang disebut khaliq dan
wujud baru yang disebut makhluq.
Tidak ada perbedaan antara ‘abid (yang
menyembah) dan ma’bud (yang
disembah). Bahkan antara yang menyembah dan yang disembah adalah satu.
Perbedaan hanya pada rupa dan ragam dari hakikat yang satu. Untuk pernyataan
tersebut, Ibn Arabi mengemukakan lewat syairnya:
اَلْعَبْدُ
رَبٌّ وَالرَّبُّ عَبْدٌ # يَا لَيْتَ شُعُوْرِيْ مَنِ الْمُكَلَّفُ
إِنْ
قُلْتَ عَبْدٌ فَذَاكَ رَبٌّ # أَوْ قُلْتَ رَبٌّ أَنَّى يُكَلَّفُ
“Hamba
adalah Tuhan, dan Tuhan adalah hamba, demi perasaanku, siapakah yang mukallaf?
Jika engkau katakan hamba, padahal dia (pada hakikatnya) Tuhan juga.
Atau engkau katakan Tuhan, lalu siapa yang dibebani taklif?
Satu-satunya wujud adalah wujud Tuhan, tidak ada wujud selain
wujud-Nya. Ini berarti apa pun selain Tuhan baik berupa alam maupun apa saja
yang ada di alam tidak memiliki wujud. Kesimpulannya kata wujud tidak diberikan
kepada selain Tuhan. Akan tetapi kenyataannya Ibnu Arabi juga menggunakan kata
wujud untuk menyebut sesuatu selain Tuhan. Namun ia mengatakan bahwa wujud itu
hanya kepunyaan Tuhan sedang wujud yang ada pada alam hakikatnya adalah wujud
Tuhan yang dipinjamkan kepadanya. Untuk memperjelas uraiannya Ibnu Arabi
memberikan contoh berupa cahaya. Cahaya hanya milik matahari, tetapi cahaya itu
dipinjamkan kepada para penghuni bumi. Ibnu Arabi mengemukakan teori tajalli yang berarti menampakkan
diri. Tajalli artinya
Allah menampakkan diri atau membuka diri, jadi diumpamakan Allah bercermin
sehingga terciptalah bayangan Tuhan dengan sendirinya. Dengan teori ini,
makhluk adalah bayang-bayang atau pencerminan Tuhan di mana Tuhan dapat melihat
dirinya sendiri tanpa kehilangan sesuatupun. Artinya tetap dalam kemutlakannya.
Sebagaimana doktrin-doktrin beliau dalam kitab Futuhat Al-Makkiyyah dan Fushush Al-Hikam esensi ke-Tuhanan bagi Ibnu Arabi adalah
segala yang ada yang bisa dipandang dari dua aspek: (1) sebagai esensi murni,
tunggal dan tanpa atribut (sifat); dan (2) sebagai esensi yang dikaruniai
atribut. Tuhan, karena dipandang tidak beratribut, berada di luar relasi dan
karenanya juga di luar pengetahuan. Dalam esensi-Nya Tuhan terbebas dari
penciptaan, tetapi dalam keTuhanan-Nya, Tuhan membutuhkannya. Eksistensi Tuhan
adalah absolut, ciptaannya ada secara relatif, dan yang muncul sebagai relasi
realitas adalah wujud nyata yang terbatasi dan terindividualisasi. Karenanya
segala sesuatu adalah atribut Tuhan dan dengan demikian semua pada akhirnya
identik dengan Tuhan, tanpa memandang bahwa semua itu
sebenarnya bukan apa apa
Ibn Arabi memandang manusia dan alam sebagai cermin yang
memperlihatkan Tuhan dan berkata bahwa sang penerima berasal dari nol sebab ia
berasal dari emanasi-Nya yang paling suci karena seluruh kejadian (eksistensi)
berawal dan berakhir bersama-Nya: kepada-Nya ia akan kembali dan
dari-Nya ia berawal.[10][19]
Ketika Tuhan berkehendak dengan nama-nama bagus-Nya
(sifat-sifat) yang berada di luar hitungan, esensinya bisa dilihat. Dia
menyebabkan nama-nama itu bisa dilihat dalam sebuah wujud mikrokosmik yang
karena dikaruniai eksistensi meliputi seluruh obyek penglihatan dan
melaluinyalah kesadaran terdalam Tuhan menjadi termanifestasikan di
hadapan-Nya.
Lebih lanjut Ibnu Arabi menjelaskan hubungan antara
Tuhan dengan alam menurutnya alam adalah bayangan Tuhan atau bayangan wujud
yang hakiki dan alam tidak mempunyai wujud yang sebenarnya. Oleh karena itu
alam tempat tajalli dan mazhar (penampakan Tuhan).
Menurutnya ketika Allah menciptakan alam ini, Ia juga memberikan sifat-sifat
ke-Tuhanan pada segala sesuatu. Alam ini seperti cermin yang buram dan seperti
badan yang tidak bernyawa. Oleh karena itu, Allah menciptakan manusia untuk
memperjelas cermin itu. Dengan pernyataan lain alam ini merupakanmazhar (penampakan) dari asma’ dan sifat Allah yang
terus-menerus. Tanpa alam, sifat dan asma’-Nya akan kehilangan makna dan senantiasa dalam bentuk dzat
yang tinggal dalam ke-mujarrad-an
(kesendirian)-Nya, yang mutlak yang tidak dikenal oleh siapapun.
Banyak orang yang menyamakan antara wihdatul wujud dengan Pantheisme. Padahal terdapat perbedaan yang signifikan di antara
keduanya. Konsep Wihdatul wujud menyatakan
bahwa tidak ada sesuatu apapun yang mempunyai wujud yang hakiki atau mutlak
kecuali Allah. Wujud Mutlak adalah wujud yang keberadaannya independen (tidak
bergantung pada apapun), tidak berawal, tidak membutuhkan wujud lain untuk
membuat-Nya berawal (karena Dia memang tidak berawal). Adanya Wujud Mutlak ini
ialah keniscayaan bagi keberadaan wujud-wujud lain yang berawal. Alam semesta
dan segala sesuatu selain Allah adalah wujud yang tidak hakiki, karena
keberadaannya tergantung kepada Wujud Mutlak.
Oleh para sufi segala wujud selain Allah itu disebut wujud al mukmin. Berbeda denganWujud Mutlak, wujud al mukmin ini adalah wujud
yang berawal, artinya baru ada pada waktu awal tertentu. Misalnya alam semesta
yang baru ada pada saat Big Bang (terjadinya
ledakan besar, yaitu yang dianggap awal mula terjadinya bumi oleh para
ilmuwan), yang oleh para kosmolog diperkirakan terjadi 10 milyar tahun yang
lalu. Oleh karena itu, alam semesta ialah wujud al mukmin, karena keberadaannya diwujudkan (maujud) oleh Allah.
Harus dipahami bahwa paham Ibnu Arabi ini tidak menyamakan
segala sesuatu yang tampak sebagai bukan Allah itu dengan Allah. Sebab jika
kita misalnya mengatakan bahwa manusia adalah Allah dan Allah adalah manusia,
maka kita akan jelas-jelas terjebak ke dalam Pantheisme. Menurut Ibnu Arabi, keterbatasan persepsi manusia
telah gagal untuk melihat kaitan integral antara keberadaan selain Allah dengan
keberadaan Allah sendiri.
Jelas ada perbedaan prinsipil antara wihdatul wujud dengan Pantheisme. Pantheismemenganggap bahwa wujud
Tuhan itu bersatu dengan wujud makhluk, sedangkan wihdatul wujudmenganggap bahwa wujud Tuhan itu terpisah dari
wujud makhluk. Jadi, bagi penganut Pantheisme, wujud Tuhan itu tidak ada, karena Tuhan adalah alam,
dan alam adalah Tuhan. Jelas dari sisi logika maupun dalil kepercayaan Pantheisme ini adalah sesat.
Doktrin wihdatul
wujud Ibnu Arabi bersifat monorealistik, yakni menegaskan
ketunggalan yang ada dan mengada (tauhid
wujudi). Teori wihdatul
wujud menekankan pada unitas wujud yang hadir pada segala sesuatu
yang disebut sebagai maujud.
Tuhan berwujud, manusia berwujud, benda-benda mati berwujud, dsb. Maka akan
timbul pertanyaan, apa yang membedakan antara wujud Tuhan dengan wujud
selainnya?
Untuk menjawab persoalan yang dikenal dengan istilah problem
multiplisitas dengan unitaswujudiyah yang
menerangkan tentang dua perkara yang cukup fundamental. Pertama, ada yang
disebut dengan istilah maujud
murakkab, dimana keberadaan entitas tersebut bergantung pada unsur-unsur
pokoknya. Segala sesuatu yang masuk dalam kategori ini pasti akan terbatas.
Kedua,maujud basit, dimana
jenis wujudnya tak pernah bergantung pada unsur-unsur. Karenanya Ia tidak
pernah terbatas. Wujud ini (maujud
basit) hanya milik Allah SWT saja, dimana wujud-Nya merupakan maujud-Nya
itu sendiri.
Menurut Ibnu Arabi, tahap tertinggi yang bisa dicapai manusia
adalah pengalaman langsung (dzauq). Ibnu
Arabi memandang pengalaman langsung sebagai tujuan tertingginya. Menurutnya,
saat mencapai tahap tersebut, jiwa berarti telah mencapai kondisi peniadaan
diri (fana’). Dan pada saat
itulah ia akan mampu secara visual menyaksikan kesatuan segala sesuatu, yaitu
kesatuan antara Yang Mencipta dengan yang dicipta, dan Yang Abadi dengan yang
binasa.
Daftar Pustaka :
·
Anwar, Rosihon. 2009. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka
Setia.
·
Ariyanti. 2011. Pemikiran Tasawuf Ibnu Arabi, dalam http://ariyantimenulis.blogspot.3.com/2011/12/pemikiran-tasawuf-falsafi-ibnu-arabi.html,
diakses tanggal 15 Oktober 2012.
·
al-Fayumi, Muhammad Ibrahim. Tt. Ibnu Arabi Shahib al-Futuhat al-Makiyah. Mesir:
al-Dar al-Mishriyah al-Libaniyah.
·
Hamka. 1986. Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya.
Jakarta: Pustaka Panjimas.
·
http://id.wikipedia.org/wiki/Pemahaman_Sufisme_Ibn_Arabi,
diakses tanggal 15 Oktober 2012.
·
Ibn ‘Arabi. Tt. Al-Futuhat Al-Makkiyyah. Beirut: Dar
Shadir.
·
Ibn ‘Arabi. Tt. Fushush al-Hikam wa at-Ta’liqat ‘alaih.
Ed. Abu Al-‘Ala ‘Afifi. Beirut: Dar al-Fikr.
·
Jamil, M. 2007. Cakrawala tasawuf: sejarah, pemikiran dan
kontekstualitas. Jakarta: GP Press.
·
Khan, Ali Mahdi. 2004. Dasar dasar Filsafat Islam : Pengantar ke
gerbang pemikiran. Bandung: Nuansa.
·
al-Qarni, Abdul Hafizh Furghali Ali.
1986. Al-Syekh al-Akbar Muhyiddin
bin al-Arabi Sulthan al-Arifin.Mesir: Al-Hai’ah al-Mishriyah al-Ammah.
·
Rifa’i, Bahrun dan Hasan Mud’is.
2010. Filsafat Tasawuf.
Bandung: Pustaka Setia.
·
Sholihin, M. 2008. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka
Setia.
·
at-Taftazani, Abu al-Wafa’
al-Ghanimi. 1985. Sufi dari Zaman
ke Zaman. Terj. Ahmad Rafi’i Utsmani. Bandung: Pustaka.
·
Ucha, 2012. Inti Ajaran Tasawuf Ibnu
Arabi, dalam http://uchamsimgl2011.blogspot.com/2012/03/inti-ajaran-tasawuf-ibnu-arabi.html,
diakses pada tanggal 15 Oktober 2012.
·
Zainurrahman. 2010. Aku dan Wihdatul Wujud. Ternate:
Majelis Dzikir al-Jabbar.
Jessicka kuputri
201471060