Sabtu, 24 Juni 2017

HAKEKAT MANUSIA MENURUT IBNU ARABI

Nama lengkap Ibnu Arabi adalah Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah al-Hatimi. Ia keturunan dari Abdulah bin Hatim saudara Adiy bin Hatim dari kabilah Thai. Kuniahnya adalah Abu Bakar dan laqab (julukannya) adalah Muhyiddin. Ia juga populer dengan sebutan Al-Hatimi dan dengan sebutan Ibnu Arabi (tanpa “al”) untuk membedakannya dengan Qadhi Abu Bakar ibn al-Arabi. Ibnu Arabi lahir pada hari Senin tanggal 17 Ramadhan 560 H bertepatan dengan 28 Juli 1165 M di Murcia, Andalusia. Ayahnya -Ali bin Muhammad- termasuk salah seorang ahli fiqh dan hadits, juga seorang sufi yang zuhud dan bertaqwa. Ayahnya adalah orang shalih yang senantiasa tekun membaca Al-Qur’an dan memiliki beberapa karamah, di antara karamahnya adalah bahwa ia tahu hari meninggalnya sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Arabi dalam kitabnya Al-Futuhat Al-Makiyah.
Pada umur delapan tahun, Ibn Arabi meninggalkan kota kelahirannya dan berangkat ke Lisbon, untuk menerima pendidikan agama Islam pertamanya, yaitu membaca al-Qur’an dan mempelajari hukum-hukum Islam dari Syekh Abu Bakar bin Khalaf, kemudian ia pindah ke Seville yang saat itu merupakan pusat sufi Spanyol dan menetap di sana selama tiga puluh tahun untuk mempelajari hukum, hadits, teologi Islam, serta banyak belajar dari ulama-ulama dalam mempelajari tasawuf. Ia belajar tasawuf kepada sejumlah sufi terkenal seperti Abu Madyan al-Gauts at-Talimsari, dan melanglang buana ke berbagai negeri seperti Yaman, Syiria, Irak, Mesir, dan akhirnya pada tahun 620 H, ia menetap di Hijaz hingga akhir hayatnya.

KONSEP WIHDATUL WUJUD IBNU ARABI
Ajaran sentral Ibn Arabi adalah tentang wihdatul wujud (kesatuan wujud). Meskipun demikian, istilah wihdatul wujud yang dipakai untuk menyebut ajaran sentralnya itu tidaklah berasal darinya, tetapi berasal dari Ibnu Taimiyah, tokoh yang paling keras mengecam dan mengkritik ajaran sentralnya tersebut, atau setidak-tidaknya tokoh itulah yang berjasa dalam mempopulerkan ke tengah masyarakat Islam, meskipun tujuannya negatif.
Menurut faham ini bahwa setiap sesuatu yang ada memiliki dua aspek, yaitu aspek luar dan aspek dalam. Aspek luar disebut makhluk (al-khalq) dan aspek dalam disebut Tuhan (al-Haqq). Menurut faham ini aspek yang sebenarnya ada hanyalah aspek dalam (Tuhan) sedangkan aspek luar hanyalah  bayangan dari aspek dalam tersebut.
Menurut Ibnu Arabi, wujud semua yang ada ini hanya satu dan wujud makhluq pada hakikatnya wujud khaliq pula. Tidak ada perbedaan di antara keduanya (khaliq dan makhluq) dari segi hakikat. Adapun kalau ada yang mengira bahwa antara wujud khaliq dan makhluq ada perbedaan, hal itu dilihat dari sudut pandang pancaindra lahir dan akal yang terbatas kemampuannya dalam menangkap hakikat yang ada pada dzat-Nya dari kesatuan dzatiyah yang segala sesuatu berhimpun padanya. Hal ini tersimpul dalam ucapan Ibn Arabi,
سُبْحَانَ مَنْ أَظْهَرَ الْأَشْيَاءَ وَهُوَ عَيْنُنَا
“Mahasuci Tuhan yang telah menjadikan segala sesuatu dan Dia sendiri adalah hakikat segala sesuatu.
Wujud alam, menurut Ibn Arabi, pada hakikatnya adalah wujud Allah juga. Allah adalah hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang qadim, yang disebut khaliq dan wujud baru yang disebut makhluq. Tidak ada perbedaan antara ‘abid (yang menyembah) dan ma’bud (yang disembah). Bahkan antara yang menyembah dan yang disembah adalah satu. Perbedaan hanya pada rupa dan ragam dari hakikat yang satu. Untuk pernyataan tersebut, Ibn Arabi mengemukakan lewat syairnya:
اَلْعَبْدُ رَبٌّ وَالرَّبُّ عَبْدٌ # يَا لَيْتَ شُعُوْرِيْ مَنِ الْمُكَلَّفُ
إِنْ قُلْتَ عَبْدٌ فَذَاكَ رَبٌّ # أَوْ قُلْتَ رَبٌّ أَنَّى يُكَلَّفُ
“Hamba adalah Tuhan, dan Tuhan adalah hamba, demi perasaanku, siapakah yang mukallaf? Jika engkau katakan hamba,  padahal dia (pada hakikatnya) Tuhan juga. Atau engkau katakan Tuhan, lalu siapa yang dibebani taklif?
Satu-satunya wujud adalah wujud Tuhan, tidak ada wujud selain wujud-Nya. Ini berarti apa pun selain Tuhan baik berupa alam maupun apa saja yang ada di alam tidak memiliki wujud. Kesimpulannya kata wujud tidak diberikan kepada selain Tuhan. Akan tetapi kenyataannya Ibnu Arabi juga menggunakan kata wujud untuk menyebut sesuatu selain Tuhan. Namun ia mengatakan bahwa wujud itu hanya kepunyaan Tuhan sedang wujud yang ada pada alam hakikatnya adalah wujud Tuhan yang dipinjamkan kepadanya. Untuk memperjelas uraiannya Ibnu Arabi memberikan contoh berupa cahaya. Cahaya hanya milik matahari, tetapi cahaya itu dipinjamkan kepada para penghuni bumi. Ibnu Arabi mengemukakan teori tajalli yang berarti menampakkan diri. Tajalli artinya Allah menampakkan diri atau membuka diri, jadi diumpamakan Allah bercermin sehingga terciptalah bayangan Tuhan dengan sendirinya. Dengan teori ini, makhluk adalah bayang-bayang atau pencerminan Tuhan di mana Tuhan dapat melihat dirinya sendiri tanpa kehilangan sesuatupun. Artinya tetap dalam kemutlakannya.
Sebagaimana doktrin-doktrin beliau dalam kitab Futuhat Al-Makkiyyah dan Fushush Al-Hikam esensi ke-Tuhanan bagi Ibnu Arabi adalah segala yang ada yang bisa dipandang dari dua aspek: (1) sebagai esensi murni, tunggal dan tanpa atribut (sifat); dan (2) sebagai esensi yang dikaruniai atribut. Tuhan, karena dipandang tidak beratribut, berada di luar relasi dan karenanya juga di luar pengetahuan. Dalam esensi-Nya Tuhan terbebas dari penciptaan, tetapi dalam keTuhanan-Nya, Tuhan membutuhkannya. Eksistensi Tuhan adalah absolut, ciptaannya ada secara relatif, dan yang muncul sebagai relasi realitas adalah wujud nyata yang terbatasi dan terindividualisasi. Karenanya segala sesuatu adalah atribut Tuhan dan dengan demikian semua pada akhirnya identik dengan Tuhan, tanpa memandang bahwa semua itu sebenarnya bukan apa apa
Ibn Arabi memandang manusia dan alam sebagai cermin yang memperlihatkan Tuhan dan berkata bahwa sang penerima berasal dari nol sebab ia berasal dari emanasi-Nya yang paling suci karena seluruh kejadian (eksistensi) berawal dan berakhir bersama-Nya: kepada-Nya ia akan kembali  dan dari-Nya ia berawal.[10][19]
Ketika Tuhan berkehendak dengan nama-nama bagus-Nya (sifat-sifat) yang berada di luar hitungan, esensinya bisa dilihat. Dia menyebabkan nama-nama itu bisa dilihat dalam sebuah wujud mikrokosmik yang karena dikaruniai eksistensi meliputi seluruh obyek penglihatan dan melaluinyalah kesadaran terdalam Tuhan menjadi termanifestasikan di hadapan-Nya.
Lebih lanjut  Ibnu Arabi menjelaskan hubungan antara Tuhan dengan alam menurutnya alam adalah bayangan Tuhan atau bayangan wujud yang hakiki dan alam tidak mempunyai wujud yang sebenarnya. Oleh karena itu alam tempat tajalli dan mazhar (penampakan Tuhan). Menurutnya ketika Allah menciptakan alam ini, Ia juga memberikan sifat-sifat ke-Tuhanan pada segala sesuatu. Alam ini seperti cermin yang buram dan seperti badan yang tidak bernyawa. Oleh karena itu, Allah menciptakan manusia untuk memperjelas cermin itu. Dengan pernyataan lain alam ini merupakanmazhar (penampakan) dari asma’ dan sifat Allah yang terus-menerus. Tanpa alam, sifat dan asma’-Nya akan kehilangan makna dan senantiasa dalam bentuk dzat yang tinggal dalam ke-mujarrad-an (kesendirian)-Nya, yang mutlak yang tidak dikenal oleh siapapun.
Banyak orang yang menyamakan antara wihdatul wujud dengan Pantheisme. Padahal terdapat perbedaan yang signifikan di antara keduanya. Konsep Wihdatul wujud menyatakan bahwa tidak ada sesuatu apapun yang mempunyai wujud yang hakiki atau mutlak kecuali Allah. Wujud Mutlak adalah wujud yang keberadaannya independen (tidak bergantung pada apapun), tidak berawal, tidak membutuhkan wujud lain untuk membuat-Nya berawal (karena Dia memang tidak berawal). Adanya Wujud Mutlak ini ialah keniscayaan bagi keberadaan wujud-wujud lain yang berawal. Alam semesta dan segala sesuatu selain Allah adalah wujud yang tidak hakiki, karena keberadaannya tergantung kepada Wujud Mutlak.
Oleh para sufi segala wujud selain Allah itu disebut wujud al mukmin. Berbeda denganWujud Mutlak, wujud al mukmin ini adalah wujud yang berawal, artinya baru ada pada waktu awal tertentu. Misalnya alam semesta yang baru ada pada saat Big Bang (terjadinya ledakan besar, yaitu yang dianggap awal mula terjadinya bumi oleh para ilmuwan), yang oleh para kosmolog diperkirakan terjadi 10 milyar tahun yang lalu. Oleh karena itu, alam semesta ialah wujud al mukmin, karena keberadaannya diwujudkan (maujud) oleh Allah.
Harus dipahami bahwa paham Ibnu Arabi ini tidak menyamakan segala sesuatu yang tampak sebagai bukan Allah itu dengan Allah. Sebab jika kita misalnya mengatakan bahwa manusia adalah Allah dan Allah adalah manusia, maka kita akan jelas-jelas terjebak ke dalam Pantheisme. Menurut Ibnu Arabi, keterbatasan persepsi manusia telah gagal untuk melihat kaitan integral antara keberadaan selain Allah dengan keberadaan Allah sendiri.
Jelas ada perbedaan prinsipil antara wihdatul wujud dengan Pantheisme. Pantheismemenganggap bahwa wujud Tuhan itu bersatu dengan wujud makhluk, sedangkan wihdatul wujudmenganggap bahwa wujud Tuhan itu terpisah dari wujud  makhluk. Jadi, bagi penganut Pantheisme, wujud Tuhan itu tidak ada, karena Tuhan adalah alam, dan alam adalah Tuhan. Jelas dari sisi logika maupun dalil kepercayaan Pantheisme ini adalah sesat.
Doktrin wihdatul wujud Ibnu Arabi bersifat monorealistik, yakni menegaskan ketunggalan yang ada dan mengada (tauhid wujudi). Teori wihdatul wujud menekankan pada unitas wujud yang hadir pada segala sesuatu yang disebut sebagai maujud. Tuhan berwujud, manusia berwujud, benda-benda mati berwujud, dsb. Maka akan timbul pertanyaan, apa yang membedakan antara wujud Tuhan dengan wujud selainnya?
Untuk menjawab persoalan yang dikenal dengan istilah problem multiplisitas dengan unitaswujudiyah yang menerangkan tentang dua perkara yang cukup fundamental. Pertama, ada yang disebut dengan istilah maujud murakkab, dimana keberadaan entitas tersebut bergantung pada unsur-unsur pokoknya. Segala sesuatu yang masuk dalam kategori ini pasti akan terbatas. Kedua,maujud basit, dimana jenis wujudnya tak pernah bergantung pada unsur-unsur. Karenanya Ia tidak pernah terbatas. Wujud ini (maujud basit) hanya milik Allah SWT saja, dimana wujud-Nya merupakan maujud-Nya itu sendiri.
Menurut Ibnu Arabi, tahap tertinggi yang bisa dicapai manusia adalah pengalaman langsung (dzauq).  Ibnu Arabi memandang pengalaman langsung sebagai tujuan tertingginya. Menurutnya, saat mencapai tahap tersebut, jiwa berarti telah mencapai kondisi peniadaan diri (fana’). Dan pada saat itulah ia akan mampu secara visual menyaksikan kesatuan segala sesuatu, yaitu kesatuan antara Yang Mencipta dengan yang dicipta, dan Yang Abadi dengan yang binasa.

Daftar Pustaka :
·         Anwar, Rosihon. 2009. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
·         Ariyanti. 2011. Pemikiran Tasawuf Ibnu Arabi, dalam http://ariyantimenulis.blogspot.3.com/2011/12/pemikiran-tasawuf-falsafi-ibnu-arabi.html, diakses tanggal 15 Oktober 2012.
·         al-Fayumi, Muhammad Ibrahim. Tt. Ibnu Arabi Shahib al-Futuhat al-Makiyah. Mesir: al-Dar al-Mishriyah al-Libaniyah.
·         Hamka. 1986. Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: Pustaka Panjimas.
·         http://id.wikipedia.org/wiki/Pemahaman_Sufisme_Ibn_Arabi, diakses tanggal 15 Oktober 2012.
·         Ibn ‘Arabi. Tt. Al-Futuhat Al-Makkiyyah. Beirut: Dar Shadir.
·         Ibn ‘Arabi. Tt. Fushush al-Hikam wa at-Ta’liqat ‘alaih. Ed. Abu Al-‘Ala ‘Afifi. Beirut: Dar al-Fikr.
·         Jamil, M. 2007. Cakrawala tasawuf: sejarah, pemikiran dan kontekstualitas. Jakarta: GP Press.
·         Khan, Ali Mahdi. 2004. Dasar dasar Filsafat Islam : Pengantar ke gerbang pemikiran. Bandung: Nuansa.
·         al-Qarni, Abdul Hafizh Furghali Ali. 1986. Al-Syekh al-Akbar Muhyiddin bin al-Arabi Sulthan al-Arifin.Mesir: Al-Hai’ah al-Mishriyah al-Ammah.
·         Rifa’i, Bahrun dan Hasan Mud’is. 2010. Filsafat Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
·         Sholihin, M. 2008. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
·         at-Taftazani, Abu al-Wafa’ al-Ghanimi. 1985. Sufi dari Zaman ke Zaman. Terj. Ahmad Rafi’i Utsmani. Bandung: Pustaka.
·         Ucha, 2012. Inti Ajaran Tasawuf Ibnu Arabi, dalam http://uchamsimgl2011.blogspot.com/2012/03/inti-ajaran-tasawuf-ibnu-arabi.html, diakses pada tanggal 15 Oktober 2012.
·         Zainurrahman. 2010. Aku dan Wihdatul Wujud. Ternate: Majelis Dzikir al-Jabbar.


Jessicka kuputri

201471060

Rabu, 14 Juni 2017

Pemikirian Jean Paul Sartre

Filsuf eksistensialis Jean Paul Sartre lahir di Paris tanggal 21 Juni 1905. Karir filsafatnya baru mendapatkan perhatian yang besar dari public intelektual setelah ia menulis dan menerbitkan L;etre et le neant. Essau d’ontologie phenomenologique (1943). Dengan buku ini Sartre menjadi filsuf ternama dan diidolakan sebagai salah seorang pemimpin gerakan filosofis yang disebuut eksistesialisme.
Atas sekian banyak tuduhan yang dialamatkan kepadanya, atau kepada aliran pemikiran yang ia geluti, yaitu Eksistensialisme, Sartre menanggapinya dengan menggunakan cara menidak,“Eksistensialisme itu tidak seperti ini dan tidak seperti itu.” Eksistensialisme, misalnya dituduh sebagai nama lain dari pesimisme, quietism, bahkan filsafat keputus-asaan yang sama sekali tidak memberikan gambaran yang positif tentang hidup manusia melainkan sisi gelap dan jahat darinya. Dengan agak berlebihan bahkan Sartre mengatakan bahwa kejelekan atau keburukan itu diidentikkan dengan eksistentialisme. Dari pihak Komunis, Eksistensialisme juga dituduh sebagai sebuah filsafat kontemplatif yang berarti suatu kemewahan dan itu identik dengan filsafat kaum bourgeois.
Dari pihak Katolik, seperti Mlle.Mercier, dilancarkan tuduhan bahwa eksistensialisme itu hanya menggarisbawahi hal-ihwal yang memalukan, yang rendah, yang patut dicela, yang menjijikkan dalam situasi konkret manusia dan Sartre cenderung mengabaikan pesona, keindahan dan hal-hal yang baik dari kodrat manusia. Lebih jauh lagi, eksistensialisme dianggap menyangkal realitas dan kesungguhan perikehidupan antar manusia karena ia mengabaikan Perintah Tuhan dan nilai-nilai yang dalam pandangan Kristen disakralkan dan dipercaya sebagai abadi. Singkatnya, eksistensialisme itu melulu voluntary. Artinya, bahwa tiap orang dapat berbuat semaunya seturut apa yang ia sukai.
Ada lagi yang berkomentar bahwa eksistensialisme itu sama sekali tidak menyinggung soal solidaritas umat manusia dan menelaah manusia dalam ke-terisolir-annya. Dan ini, dalam pandangan kaum komunis, dikarenakan eksistensialisme mendasarkan ajarannya padasubjektivitas murni—seperti yang diajarkan oleh Descartes dengan cogito-nya—karenanya, eksistensialisme dengan ego-nya, tidak akan sanggup menjangkau sesamanya, apalagi berpikir tentang tentang solidaritas.
Namun, apakah memang tepat tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepada Sartre dan eksistensialisme ini? Bagaimana Sartre membela dirinya dan membela paham yang ia anut? Pertama, ia sendiri juga menyayangkan bahwa istilah “eksistensialisme” dipakai secara teramat longgar untuk menamai apa-apa saja yang tampil sedikit berbeda, dan radikal sehingga istilah “eksistensialisme” nyaris tidak punya arti apa-apa lagi. Kedua, guna meluruskan salah-kaprah seputar peristilahan dan aplikasinya, pertama-tama Sartre mulai mendefinisikan eksistensialisme sebagai suatu ajaran yang menyebabkan hidup manusia itu menjadi mungkin. Selain itu, eksistensialisme juga merupakan suatu ajaran yang mengafirmasi bahwa setiap kebenaran dan setiap tindakan itu mengandung di dalamnya sebuah lingkungan dan suatu subjektivitas manusia. Definisi yang terakhir ini kelak akan ia elaborasi dengan peristilahan a human universality of condition. Dua definisi yang baru saja disebut di sini hanyalah awalan saja. Ketiga, definisi Sartre yang paling terkenal tentang eksistensialisme dirumuskannya sebagai berikut: Bahwa eksistensi itu (hadir) mendahului esensi dan karenanya kita harus mulai dari yang subjektif. Apa maksud Sartre dengan proposisi ini?
Secara sederhana, Sartre mengambil contoh dari kehidupan sehari-hari untuk menerangkan maksud dari “bahwa eksistensi itu hadir mendahului esensi.” Ia mengajak pembaca untuk membayangkan sebuah buku atau pisau kertas (paper knife). Seorang pembuat pisau kertas, disebut artisan, tentu mempunyai konsepsi terlebih dahulu di benaknya apa yang mau ia buat, kegunaannya dan bagaimana prosedur pembuatannya. Esensi dari pisau kertas itu, yaitu keseluruhan dari rumusan pembuatan (formulae) serta kualitas-kualitas tertentu yang membuat terproduksinya dan definisinya menjadi mungkin, mendahului eksistensinya. Dengan kata lain,produksinya mendahului eksistensinya. Di sini, kita memandang dunia dari sudut pandang teknis. Namun, hal itu berbeda tatkala kita membayangkan Allah sebagai Sang Pencipta yang berarti mengatribusikan padaNya kualitas “seorang” supernatural artisan. Apapun doktrin yang kita anut mengenai penciptaan ini, kita selalu mengandaikan bahwa tatkala Allah menciptakan, Ia tahu persis apa yang sedang Ia ciptakan. Dengan begitu,  tiap individu manusia adalah realisasi dari konsepsi tertentu yang berada dalam pengertian ilahi. Dengan begitu, manusia memiliki kodrat tertentu (human nature). Artinya konsepsi tentang esensi dirinya, di mana masing-masing manusia adalah sebuah contoh khusus dari suatu konsepsi universal: konsepsi tentang Manusia, entah ituanimal rationale (Aristoteles), atau wild man of the woods (Rousseau), man in the state of nature(Thomas Hobbes), dan the bourgeois (Karl Marx).
Justru pandangan di mana “esensi manusia mendahului eksistensinya” seperti ini yang keliru dan dikritik tajam oleh Sartre. Bagi Sartre, jika Allah tidak eksis, setidaknya ada satu makhluk yang eksistensinya ada sebelum esensinya, sebuah makhluk yang eksis sebelum ia dibatasi oleh macam-macam konsepsi tentang eksistensinya itu. Makhluk itu adalah manusia.
Sekali lagi ditegaskan Sartre bahwa yang dimaksud dengan “eksistensi mendahului esensi” adalah bahwa pertama-tama manusia itu eksis (ada, hadir), menjumpai dirinya, muncul (Inggris: surges up; Jawa: mentas) di dunia dan baru setelah itu mendefinisikan dirinya itu siapa. Jika manusia sebagai eksistensialis melihat bahwa dirinya itu belum ditentukan, hal itu adalah karena pada permulaannya dia itu memang bukan apa-apa (nothing). Dia tidak akan menjadi apa-apa sampai tiba saatnya ketika ia menjadi apa yang ia tentukan sendiri. Oleh karenanya, tidak ada itu yang dinamakan kodrat manusia, sebab tidak ada Allah yang mempunyai konsepsi tentang dia (manusia). Singkatnya, Manusia adalah.
Pandangan ini mencengangkan, namun inilah prinsip pertama dari eksistensialisme: Manusia tak lain tak bukan adalah dia yang menentukan dirinya sendiri mau menjadi apa. Apakah pandangan ini tidak terlalu subyektif? Lalu, di mana tempat orang lain dalam eksistensi si individu itu? Bagaimana dengan hal-hal tertentu yang tidak bisa kita tentukan sendiri misalnya: kita lahir di mana, dalam keluarga apa, dibesarkan dalam lingkungan berbahasa apa, dan macam-macam hal lainnya?
Mengenai subjektivitas ini, Sartre mengakuinya. Namun bukan subjektivitas sebagaimana dimaksud oleh para pengkritiknya. Subjektivitas yang dimaksud Sartre dalam pengertiannya tentang eksistensi adalah bahwa manusia itu mempunyai martabat yang lebih luhur daripada, katakanlah, batu atau meja. Subjektivitas yang dimaksud Sartre adalah bahwa manusia pertama-tama eksis bahwa manusia adalah manusia (man is), sesuatu yang mendesak, bergerak maju menuju masa depan dan bahwa ia menyadari apa yang ia lakukan itu. Jika memang benar bahwa eksistensi itu mendahului esensi, maka manusia itu bertanggungjawab atas mau menjadi apa dia (what he is). Inilah dampak paling pertama dari eksistensialisme yaitu bahwa manusia dengan menyadari bahwa kontrol berada penuh di tangannya, ia memikul beban eksistensinya itu, yaitu tanggungjawab, di pundaknya. Namun hal ini tidak lantas berarti bahwa ia bertanggungjawab hanya atas individualitasnya sendiri. Melainkan bahwa ia bertanggungjawab atas semua umat manusia. Kita tentu bertanya, bagaimana bisa demikian?
Untuk menjawab ini, Sartre mengadakan dua distingsi atas subyektivisme. Pengertian yang pertama adalah kebebasan subjek individu. Pengertian kedua adalah bahwa manusia tidak bisa melampaui subjektivitas kemanusiaannya (human subjectivity). Pengertian kedua inilah yang pengertian yang lebih mendalam dari eksistensialisme. Pengertian yang kedua inilah yang memberikan gambaran kepada kita mengenai sifat dasar manusia yang kreatif, yang terus menerus mencipta dan menjadi apa yang dia inginkan. Mencipta ini berarti juga memilih dari sekian banyak kemungkinan-kemungkinan yang terbentang luas di hadapannya. Memilih antara ini atau itu pada saat yang bersamaan juga berarti mengafirmasi nilai dari apa yang dipilih. Dan yang kita pilih itu tentu apa yang kita anggap lebih baik, dan yang lebih baik bagi kita tentu juga kita anggap baik untuk semua. Tanggungjawab kita lantas terletak pada kualitas pilihan kita ini. Pilihan-pilihan yang kita buat itu menyangkut kemanusiaan sebagai suatu keseluruhan.

Daftar Pustaka :

jessicka kuputri

201471060

Kamis, 01 Juni 2017

3 Tahap Hakekat Manusia Menurut Auguste Comte

Teori Hukum Tiga Tahap / Tahap Pemikiran Manusia
Teori ini menyatakan bahwa terdapat tiga tahap intelektual yang dijalani dunia ini sepanjang sejarahnya. Menurut Comte, bukan hanya dunia yang mengalami proses ini, namun kelompok manusia, masyarakat, ilmu pengetahuan, individu dan bahkan pikiran pun melalui ketiga tahap tersebut.
·        Tahap Teologis
Tahap ini menjadi ciri dunia sebelum tahun 1300. Selama masa itu, system ide utama dititikberatkan pada kepercayaan bahwa kekuatan supranatural dan figure-figur religious, yang berwujud manusia, menjadi akar segalanya. Secara khusus dunia sosial dan fisik dipandang sebagai dua hal yang dibuat Tuhan. Intinya pada tahap Teologis ini seseorang mengarahkan rohnya pada hakikat batiniah segala sesuatu, kepada sebab pertama, dan tujuan terakhir segala sesuatu, kepada sebab pertama, dan tujuan terakhir segala sesuatu. Menurut Comte pada tahap ini, manusia berkeyakinan bahwa setiap benda-benda merupakan ungkapan dari supernaturalisme. Tahap ini bias disebut sebagai tahap kekanak-kanakan dimana manusia tidak mempunyai daya kritis sama sekali.

·        Tahap Metafisik
Tahap ini menurut Comte berlangsung antara tahun 1300 sampai dengan 1800. Era ini dicirikan oleh kepercayaan bahwa kekuatan abstrak seperti “alam”, dapat menjelaskan segalanya. Tahap metafisik sebenarnya hanya mewujudkan suatu perubahan saja dari zaman teologik, karena ketika zaman teologik manusia hanya mempercayai suatu doktrin tanpa mempertanyakannya, hanya doktrin yang dipercayai. Dan ketika manusia mencapai tahap metafisika ia mulai mempertanyaan dan mencoba mencari bukti-bukti yang meyakinkannya tentang sesuatu dibalik fisik. Tahap metafisik menggantikan kekuatan-kekuatan abstrak atau entitas-entitas dengan manusia. Ini adalah tahap peralihan dimana alam berpikir manusia sudah menanyakan tentang fenomena-fenomena yang ada di sekitar dirinya.

·        Tahap Positif
Tahap ini yang diperkirakan terjadi pada tahun 1800 dan seterusnya, merupakan tahap pamungkas dari hukum tiga tahap, atau bias disebut tahap final. Tahap positif berusaha untuk menemukan hubungan seragam dalam gejala. Pada zaman ini seseorang tahu bahwa tiada gunanya untuk mempertanyakan pengetahuan yang mutlak, baik secara teologis ataupun secara metafisika. Orang tidak mau lagi menemukan asal muasal dan tujuan akhir alam semesta, atau melacak hakikat yang sejati dari segala sesuatu dan dibalik sesuatu. Pada zaman ini orang berusaha untuk menemukan hukum segala sesuatu dengan berbagi eksperimen yang akhirnya menghasilan fakta-fakta ilmiah, terbukti dan dapat dipertanggung jawabkan (secara empiris) .

Jelas bahwa dalam teorinya, Comte memfokuskan perhatian pada factor intelektual. Ia memang menegaskan bahwa kekacauan intelektual adalah sebab dari kekacauan sosial. Kekacauan yang tumbuh dari system ide sebelumnya (teologis dan metafisis) yang terus ada pada zaman positifis (ilmiah). Baru ketika positivis mengambil kendali sepenuhnya, keresahan sosial berhenti. Perlu dicatat bahwa proses ini adalah proses yang berjalan secara evolusioner, tidak perlu mendorong terjadinya gangguan sosial dan revolusi. Positivisme, meskipun mungkin tidak secepat yang dikehendaki sementara orang, pasti akan segera datang.


jessicka kuputri
201471060